SEJARAH DAN PERTUMBUHAN ILMU AKHLAK
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Melacak
sejarah perkembangan akhlak (etika) dalam pendekatan bahasa sebenarnya
sudah dikenal manusia di muka bumi ini. Yaitu, yang dikenal dengan
istilah adat istiadat (al-adalah/ tradisi) yang sangat dihormati oleh setiap individu, keluarga dan masyarakat.
Selama
lebih kurang seribu tahun ahli-ahli fikir Yunani dianggap telah pernah
membangun “kerajaan filsafat“, dengan lahirnya berbagai ahli dan
timbulnya berbagai macam aliran filsafat. Para penyelidik akhlak
mengemukakan, bahwa ahli-ahli semata-semata berdasarkan fikiran dan
teori-teori pengetahuan, bukan berdasarkan agama. Selain itu juga masih terdapat ahli-ahli fikir lain di zaman sebelum islam, pertengahan, dan di zaman modern
Pada pembahasan ini kami sebagai pemakalah akan menjelaskan tentang sejarah perkembangan ilmu akhlak pada zaman Yunani sampai zaman Modern.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas terdapat beberapa rumasan masalah sebagai berikut :
1. Apa sejarah perkembangan ilmu akhlak ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu akhlak pada zaman Yunani sampai zaman Modern. ?
C. Tujuan Masalah
Dari Rumusan masalah dapat diambil tujuan masalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan ilmu akhlak
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan ilmu akhlak pada zaman Yunani sampai zaman Modern
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat
Secara
etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi
pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Dari pengertian etimologis
seperti ini, akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku
yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga norma yang
mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam
semesta. Sedangkan, Ilmu
Akhlak adalah ilmu yang menentukan batas baik dan buruk, terpuji dan
tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin. Jadi
ilmu akhlak adalah ilmu yang mempersoalkan baik buruknya amal.
Akhlak
dalam arti bahasa, sebenarnya sudah dikenal manusia di atas permukaan
bumi ini yaitu apa yang disebut dengan istilah adat-istiadat (tradisi)
yang dihormati, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
Dalam keadaan terputusnya wahyu (zaman fatrah) maka tradisi itulah yang
dijadikan tolak ukur dan alat penimbangan norma pergaulan kehidupan
manusia, terlepas dari segi apakah itu baik atau buruk menurut setelah
datang wahyu.
Kalau kita memperhatikan bangsa arab di zaman jahiliyah, misalnya: mereka sudah memiliki perangai halus dan rela dalam kehidupan
baik dan kemuliaan cukup. Tetapi juga pemarah luar biasa, perampok,
perampas, karena kejahatan mengancam diri atau kabilahnya. Hal ini
Nampak dalam puisi-puisi mereka sebagai bangsa yang buta huruf, tetapi
daya ingatan dan hafalan mereka sangat kuat. Misalnya: Zuhair ibnu abi
Salam mengatakan: “Barang siapa menepati janji tidak kan tercela dan barang siapa membawa hatinya menuju kebaikan yang menentramkan, tidak akan ragu-ragu”.
Bangsa
Arab sebelum Islam telah memiliki dalam kadar yang minimal pemikiran
dalam bidang akhlak. Pengetahuan tentang berbagai macam keutamaan dan
mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-syairnya belum
sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh filosof-filosof
zaman kuno. Sewaktu islam datang yang dibawa oleh Muhammad SAW, maka
Islam tidak menolak setiap kebiasaan yang terpuji yang terdapat pada
bangsa Arab, Islam datang kepada mereka membawa akhlak yang mulia yang
menjadi dasar kebaikan hidup seseorang, keluarga, handai tolan, umat
manusia serta alam seluruhnya. Setelah Al-qur’an turun maka lingkaran
bangsa Arab dalam segi akhlak dari segi sempit menjadi luas dan
berkembang, jelas arah dan sasarannya.
B. Perkembangan ilmu akhlak
1. Sejarah Akhlak pada Fase Yunani
Perkembangan
ilmu akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang
disebut Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana (500-450 SM).
Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai
pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka
tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.
Dasar
yang digunakan para pemikir Yunani dalam membangun Ilmu akhlak adalah
pemikiran filsafat tentang manusia. Ini menunjukkan bahwa ilmu akhlak
yang mereka bangun lebih bersifat filosofis, yaitu filsafat yang
bertumpu pada kajian secara mendalam terhadap potensi kejiwaan yang
terdapat dalam diri manusia atau bersifat antropo-sentris, dan
mengesankan bahwa masalah akhlak adalah sesuatu yang fitri, yang akan
ada dengan adanya manusia sendiri, dan hasil yang didapatnya adalah ilmu
akhlak yang berdasar pada logika murni.
Pandangan
dan pemikiran filsafat yang dikemukakan para filosof Yunani itu secara
redaksional berbeda-beda, tetapi substansi dan tujuannya sama, yaitu
menyiapkan angkatan muda bangsa Yunani, agar menjadi nasionalis Socrates
(469 - 399 SM). Socrates dipandang sebagai perintis ilmu akhlak, karena
ia yang pertama kali berusaha sungguh-sungguh membentuk pola hubungan
antar manusia dengan dasar ilmu pengetahuan. Sehingga ia berpendapat
bahwa keutamaan itu adalah ilmu. Namun demikian, para peneliti terhadap
pemikiran Socrates ada yang mengatakan bahwa Socrates tidak menunjukkan
dengan jelas tujuan akhir dari akhlak dan tidak memberikan
patokan-patokan untuk mengukur segala perbuatan dan menghukumkannya baik
atau buruk. Akibatnya, maka timbullah beberapa golongan yang
mengemukakan berbagai teori tentang akhlak yang dihubungkan pada
Socrates.
Golongan
terpenting yang lahir setelah Socrates adalah Cynics dan Cyrenics.
Keduanya dari pengikut Socrates. Golongan Cynics di bangun oleh
Antistenes (414 - 370 SM). Menurut golongan ini bahwa ketuhanan itu
bersih dari segala kebutuhan, dan sebaik-baik manusia adalah orang yang
berperangai dengan akhlak ke Tuhanan. Maka ia mengurangi kebutuhannya
sedapat mungkin rela dengan sedikit, suka menanggung penderitaan dan
mengabaikannya. Di antara pemimpin paham golongan Cynics yang terkenal
adalah Diagenes yang meninggal pada tahun 323 SM. Dia memberi pelajaran
pada kawan-kawan supaya membuang beban yang ditentukan oleh ciptaan
manusia dan peranannya. Dia memakai pakaian yang kasar makan-makanan
yang buruk dan tidur di atas tanah. Adapun golongan “Cyrenics” di bangun
oleh Aristippus yang lahir di Cyrena (kota Barka di utara Afrika). Golongan
ini berpendapat bahwa mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah
merupakan satu-satunya tujuan hidup yang benar dan perbuatan itu dinamai
utama bila timbul kelezatan yang lebih besar dari kepedihan.
Kedua
golongan tersebut, sama-sama bicara tentang perbuatan yang baik, utama
dan mulia. Golongan pertama, Cynics bersikap memusat pada Tuhan
(teo-sentris) dengan cara manusia berupaya mengindentifikasi sifat Tuhan
dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. sedangkan golongan
kedua, Cyrenics bersikap memusat pada manusia (antro-pocentris) dengan
cara manusia mengoptimalkan perjuangan dirinya dan memenuhi kelezatan
hidupnya.
1. Plato (427 – 347 SM). Seorang filsafat Athena dan murid dari Socrates, bukunya yang terkenal adalah “Republic”. Ia membangun ilmu akhlak melalui akademi yang ia dirikan. Pandangannya dalam akhlak berdasar dari “teori contoh”
bahwa di balik alam ini ada alam rohani sebagai alam yang sesungguhnya.
Dan di alam rohani ini ada kekuatan yang bermacam-macam, dan kekuatan
itu timbul dari pertimbangan tunduknya kekuatan pada hukum akal.Dia
berpendapat bahwa pokok-pokok keutamaan ada empat antara lain:
a) Hikmah/kebijaksanaan,
b) Keberanian,
c) Keperwiraan
d) Keadilan.
Keempat-empatnya itu adalah tiang penegak bangsa-bangsa dan perseorangan. Di
dalam beberapa bangsa kita mengathui bhawa kebijaksanaan itu utama bagi
para hakim, keberanian itu utama bagi para tentara, perwira itu utama
bagi rakyat dan adil itu utama bagi semua. Pokok-pokok keutamaan itu
membatasu bagi tiap-tiap manusia akan perbuatannya, dan mengharap agar
ia melakukannya dengan sebaik-baiknya. Selain itu Plato juga mengatakan
bahwa akhlak termasuk kategori keindahan.
2. Aristoteles
( 394 – 322 SM), dia murid Plato yang membangun suatu paham yang khas,
yang mana pengikutnya diberi nama dengan “Peripatetics” karena mereka
memberikan pelajaran sambil berjalan, atau karena ia mengajar di tempat
berjalan yang teduh. Dia menyelidiki dalam akhlak dan mengarangnya. Dan
ia berpendapat bahwa tujuan terakhir yang dikehendaki manusia mengenai
segala perbuatannya ialah “bahagia”. Akan tetapi pengertiannya tentang
bahagia lebih luas dan lebih tinggi dari pengikut paham utilitarianism
dalam zaman baru ini. Dan menurut pendapatnya jalan mencapai kebahagiaan
ialah mempergunakan kekuatan akal pikiran sebaik-baiknya.
Selain itu Aristoteles
ialah pencipta teori serba tengah tiap-tiap keutamaan adalah
tengah-tengah diantara kedua keburukan, seperti dermawan adalah
tengah-tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah tengah-tengah
antara membabi buta dan takut.
Setelah
Aristoteles dating “Stoics” dan “Epicuric”. Mereka berbeda
penyelidikannya dalam akhlak “Stoics” berpendirian sebagai paham
“Cynics”, dan paham “Stoics” ini diikuti oleh banyak ahli filsafat di
Yunani dan Romawi. Dan pengikutnya yang termasyhur pada permulaan
kerajaan Rome
ialah Seneca (6 SM-65 M), dll. Adapun “Epicuric”, maka mereka
mendasarkan pelajarannya menurut pelajaran Cyrenics. Pendiri paham
mereka ialah “Epicuric”.di antara pengikutnya dalam zaman baru ini ialah
“Gassendi” seorang filsafat Perancis (1592-1656).
Pada
akhir abad yang ketiga Masehi tersiarlah kabar Agama Nasrani di Eropa.
Agama itu dapat merubah pikiran manusia dan membawa pokok-pokok akhlak
yang tercantum di dalam Taurat. Demikan juga memberi pelajaran kepada
manusia bahwa Tuhan sumber segala akhlak. Tuhan yang memberi segala
patokan yang harus kita pelihara Dalam bentuk perhubungan kita, dan yang
menjelaskan arti baik dan buruk, baik menurut arti yang sebenarnya
ialah kerelaan Tuhan dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.
2. Sejarah Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad pertengahan)
Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta
menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa
kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang telah
diperintahkan oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh kerana itu tidak ada
artinya lagi penggunaan akal dan pikiran untuk kegiatan penelitian.
Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan
doktrin uang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki perasaan dan
menguatkan pendapat gereja. Diluar ketentuan seperti itu penggunaan
filsafat tidak diperkenankan.
Namun demikian sebagai dari kalangan gereja ada yang mempergunakan pemikiran Plato, Aristoteles
dan Stoics untuk memperkuat ajaran gereja, dan mencocokkannya dengan
akal. Filsafat yang menentang Agama Nashrani dibuang jauh-jauh.
Dengan
demikian ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu
adalah ajaran akhlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani
dan ajaran Nashrani. Diantara merka yang termasyhur ialah Abelard, sorang ahli filsafat Perancis (1079-1142) dan Thomas Aquinas, seorang ahli filsafat Agama berkebangsaan Italia (1226-1274).
Corak
ajaran akhlak yang sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani
dan ajaran agama itu, nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran
akhlak yang terdapat dalam Islam sebagaimana terlihat pada pemikiran
aklhlak yang dikemukakan kaum Muktazilah.
1. Sejarah Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum Islam
Bangsa
Arab pada Zaman Jahiliyah tidak ada yang menonjol dalam segi filsafat
sebagaimana Bangsa Yunani (Socrates, Plato dan Aristoteles), Tiongkok
dan lain-lainnya. Disebabkan karena penyelidikan akhlak terjadi hanya
pada Bangsa yang sudah maju pengetahuannya. Sekalipun demikian, Bangsa
Arab waktu itu ada yang mempunyai ahli-ahli hikwah yang menghidangkan
syair-syair yang mengandung nilai-nilai akhlak.
Adapun sebagian syair dari kalangan Bangsa Arab diantaranya: Zuhair ibn Abi Salam
yang mengatakan: ”barang siapa menepati janji, tidak akan tercela;
barang siapa yang membawa hatinya menunjukkan kebaikan yang
menentramkan, tidak akan ragu-ragu”. Contoh lainnya, perkataan Amir ibnu Dharb Al-Adwany
”pikiran itu tidur dan nafsu bergejolak. Barang siapa yang mengumpulkan
suatu antara hak dan batil tidak akan mungkin terjadi dan yang batil
itu lebih utama buatnya. Sesungguhnya penyelesaian akibat kebodohan”.
Dapat
dipahami bahwa bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki kadar pemikiran
yang minimal pada bidang akhlak, pengetahuan tentang berbagai macam
keutamaan dan mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat
syair-syairnya belum sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan
oleh filosof-filosof Yunani kuno. Dalam syariat-syariat mereka tersebut
saja sudah ada muatan-muatan akhlak.
Memang
sebelum Islam, dikalangan bangsa Arab belum diketahui adanya para ahli
filsafat yang mempunyai aliran-aliran tertentu seperti yang kita ketahui
pada bangsa Yunani, seperti Epicurus, Plato, zinon, dan Aristoteles,
karena penyelidikan secara ilmiah tidak ada, kecuali sesudah membesarnya
perhatian orang terhadap ilmu kenegaraan.
Setelah
sinar Islam memancar, maka berubahlah suasana laksana sinar matahari
menghapuskan kegelapan malam, Bangsa Arab kemudian tampil maju menjadi
Bangsa yang unggul di segala bidang, berkat akhlak karimah yang
diajarkan Islam.
Firman Allah yang mengungkap tentang “Akhlak” yaitu Surat An-Nahl ayat 90, yang artinya : “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran”.(Q.S An-Nahl Ayat 90)
3. Akhlak Periode Abad Modern
Pada
abad pertengahan ke-15 mulailah ahli-ahli pengetahuan menghidup
suburkan filsafat Yunani kuno. Itali juga kemudian berkembang di seluruh
Eropa. Kehidupan mereka yang semula terikat pada dogma kristiani,
khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan peran yang lebih besar
kepada kemampuan akal pikiran.
Di antara masalah yang mereka kritik dan dilakukan pembaharuan adalah masalah akhlak. Akhlak
yang mereka bangun didasarkan pada penyelidikan menurut kenyataan
empiric dan tidak mengikuti gambaran-gambaran khayalan, dan hendak
melahirkan kekuatan yang ada pada manusia, dihubungkan dengan praktek
hidup di dunia ini. Pandangan baru ini menghasilkan perubahan dalam
menilai keutamaan-keutamaan kedermawanan umpamanya tidak mempunyai lagi
nilai yang tinggi sebagaimana pada abad-abad pertengahan, dan keadilan
social menjadi di perolehnya pada masa yang lampau. Selanjutnya
pandangan akhlak mereka diarahkan pada perbaikan yang bertujuan agar
mereka menjadi anggota masyarakat yang mandiri.
Ahli
filsafat Perancis yaitu Desrates (1596-1650 M), termasuk pendiri
filsafat baru dalam Ilmu Pengetahuan dan Filsafat. Ia telah menciptakan
dasar-dasar baru, diantaranya:
1. Tidak
menerima sesuatu yang belum diperiksa oleh akal dan nyata adanya. Dan
apa yang didasarkan kepada sangkaan dan apa yang tumbuhnya dari adat
kebiasaan saja, wajib di tolak.
2. Di
dalam penyelidikan harus kita mulai dari yang sekecil-kecilnya yang
semudah-mudahnya, lalu meningkat kearah yang lebih banyak susunannya dan
lebih dekat pengertiannya, sehingga tercapai tujuan kita.
3. Wajib
bagi kita jangan menetapkan sesuatu hokum akan kebenaran sesuatu soal,
sehingga menyatakannya dengan ujian. Descartes dan pengikut-pengikutnya
suka kepada paham Stoics, dan selalu mempertinggi mutu pelajarannya
sedang Gassendi dan Hobbes dan pengikutnya suka kepada paham Epicurus
dan giat menyiarkan aliran pahamnya.
Kemudian
lahir pula Bentham (1748-1832) dan John Stoart Mill (1806-1873).
Keduanya berpindah paham dari faham Epicurus ke faham Utilitarianim.
Setelah
keadaannya muncul Green (1836-1882) dan Hebbert Spencer (1820-19030,
keduanya mencocokkan faham pertumbuhan dan peningkatan atas akhlak
sebagaimana yang kita ketahui.
C. Perkembangan Akhlak Dalam Berbagai Ajaran Agama
a. Akhlak dalam ajaran agama Hindu
Ajaran
Hindu berdasarkan kepada Kitab Veda (1500 SM, disamping mengandung
dasar-dasar ketuhanan, juga mengajarkan prinsip-prinsip etika yang wajib
dipegang teguh oleh pengikut. Etika mereka sandarkan kepada ajaran
ketuhanan yang mereka anut yang termaktub dalam kitab Veda tersebut.
Prinsip
tersebut ialah sifat patuh dan disiplin dalam melaksanakan
upacara-upacara ajarannya sebagaimana mestinya. Manakala seseorang dapat
melaksanakan kewajiban tersebut dengan sempurna, dapatlah di pandang
sebagai orang yang mencapai derajat kemuliaan yang sesungguhnya.
Sebaliknya barang siapa melalaikan hal tersebut, kurang hati-hati atau
salah dalam mengerjakan upacara keagamaan, maka hal itu berarti dosa dan
sumber terbitnya kejelekan.
Dengan
demikian, prinsip etika Hindu ialah bahwa peraturan ajaran dipandang
sebagai sumber segala sumber segala kemuliaan akhlak manusia.
b. Akhlak dalam ajaran Ibrani
Bangsa
Ibrani yang popular dengan nama Bani Israil, mengaku berdasarkan akhlak
mereka kepada ajaran Yahudi yang disandarkan kepada ajaran Nabi Musa
dalam kitab Taurat.
Bani
Israil adalah bangsa yang telah memperoleh nikmat keutamaan dan
keunggulan dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Dari lingkungan
mereka banyak di bangkitkan Rasul dan Nabi, diberikan kitab dan nikmat,
kekuasaan, rizki dan kecerdasan. Tetapi segolongan dari pada bangsa ini
tidak tahu menimbang rasa dan pelupa budi serta tidak syukur atas nikmat
Allah. Bahkan dengan kenikmatan itu mereka menjadi sombong dan angkuh,
merubah kitab suci, dan berbuat kerusuhan di muka bumi.
Sebenarnya
mereka telah dibekali dengan prinsip-prinsip akhlak yang bersumber dari
ajaran Allah melalui Rasul-Rasul dan mereka mengakui dirinya sebagai
bangsa yang berakhlak yang berdasarkan ajaran Allah. Tetapi karena
mereka keluar dari garis akhlakul karimah maka Allah menyiksa mereka
dengan penderitaan-penderitaan yang luar biasa, lebih dari yang dialami
oleh bangsa-bangsa lain. Dalam teori mereka mengaku menganut
prinsip-prinsip akhlakul karimah tetapi dalam prakteknya mereka
melakukan akhlakul madzmumah.
c. Akhlak dalam ajaran Kong Fu Tse (Konfucius)
Sejak
abad ke 5 sebelum Masehi di negeri Tiongkok berkembang suatu ajaran
yang berakar pada Lao Tse yang kemudian dikembangkan oleh muridnya yang
bernama Kong Fu Tse (kongfucius) (1551-478 SM). Sebagian orang memandang
ajaran ini didasarkan filsafat dan sebagian memandang bercorak agama.
Menurut Konfucius, tidak ada alternative lain untuk membangun akhlak yang rusak selain 3 (tiga) perkara:
1. Pergi menyendiri beribadat kepada Tuhan seperti yang telah diperbuat oleh Lao Tse.
2. Mengundang rakyat menghadiri pertemuan-pertemuan terbuka dan disana memberikan kursus-kursus akhlak.
3. Membawa
diri-sendiri, baik pemerintah maupun cendekiawan, para pembesar dan
diplomat, melaksanakan akhlak yang setinggi-tingginya dalam kehidupan
sehari-hari.
Demikianlah konfucius dengan segala kesanggupannya yang berusaha menarik perhatian ummat ke jurusan undang-undang umumnya.
d. Akhlak dalam ajaran agama Nasrani (Masehi)
Pada
akhir abad ke 3 Masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini
telah berhasil mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok
ajaran akhlak yang terdapat dalam kitab taurat dan injil. Menurut agama
ini, bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan
membentuk patokan-patokan akhlak yang harus di pelihara dan di
laksanakan dalam kehidupan social kemasyarakatan.
Selain
itu agama Nasrani menghendaki agar manusia berusaha sungguh-sungguh
mensucikan roh yang terdapat pada dirinya dari perbuatan dosa, baik
dalam bentuk pemikiran maupun perbuatan. Dengan demikian agama ini
menjadikan roh sebagai kekuasaan terhadap diri manusia, yaitu suatu
kekuasaan yang dapat mengalahkan nafsu syahwat. Akibt dari paham akhlak
yang demikian itu, kebanyakan para pengikut pertama dari agama ini suka
menyiksa dirinya, menjauhi dunia fana beribadah, Zuhud, dan hidup
menyendiri.
Akhlak dalam ajaran agama Islam
Ajaran
akhlak menurut bentuknya yang sempurn pada agama Islam dengan titik
pangkalnya pada Tuhan dan akal manusia. Agama Islam pada intinya
mengajak manusia agar percaya kepada Tuhan dan mengikutinya bahwa
Dia-lah Pencipta, Pelindung, Pengasih, Pemberi Rahmat, dan Penyayang
terhadap segala makhluk-Nya.
Selain
itu, agama Islam juga mengandung jalan hidup manusia yang paling
sempurna dan memuat ajaran yang menuntut umat kepada kebahagiaan dan
kesejahteraan. Dan semua itu terkandung dalam ajaran Al-Qur’an yang
diturunkan Allah dan ajaran sunnah yang di datangkan dari Nabi Muhammad
SAW.
Al-Qur’an
adalah sumber utama dan mata air yang memancarkan agama islam.
hukum-hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang
akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan yang dapat di jumpai sumber
yang aslinya di dalam Al-Qur’an.
BAB III
KESIMPULAN
· Sejarah Perkembangan Akhlak Pada Zaman Yunani
Socrates
dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak. Karena ia yang pertama berusaha
dengan sungguh-sungguh membentuk perhubungan manusia dengan ilmu
pengetahuan. Lalu
datang Plato (427-347 SM). Ia seorang ahli Filsafat Athena, yang
merupakan murid dari Socrates. Buah pemikirannya dalam Etika berdasarkan
‘teori contoh’. Dia berpendapat alam lain adalah alam rohani. Kemudian disusul Aristoteles (394-322 SM), dia adalah muridnya plato. Pengikutnya disebut Peripatetis karena ia memberi pelajaran sambil berjalan atau di tempat berjalan yang teduh
· Sejarah Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad pertengahan)
Pada
abad pertengahan, Etika bisa dikatakan ‘dianiaya’ oleh Gereja. Pada
saat itu, Gereja memerangi Filsafat Yunani dan Romawi, dan menentang
penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja
berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah diterima dari wahyu. Dan apa
yang terkandung dan diajarkan oleh wahyu adalah benar.
· Sejarah Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum Islam
Bangsa
Arab pada zaman jahiliah tidak mempunyai ahli-ahli Filsafat yang
mengajak kepada aliran atau faham tertentu sebagaimana Yunani, seperti
Epicurus, Zeno, Plato, dan Aristoteles. Hal
itu terjadi karena penyelidikan ilmu tidak terjadi kecuali di Negara
yang sudah maju. Waktu itu bangsa Arab hanya memiliki ahli-ahli hikmat
dan sebagian ahli syair. Yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran, mendorong menuju keutamaan, dan menjauhkan diri dari
kerendahan yang terkenal pada zaman mereka.
· Sejarah Akhlak Pada Abad Modern
Pada
abad pertengahan ke-15 mulailah ahli-ahli pengetahuan menghidup
suburkan filsafat Yunani kuno. Itali juga kemudian berkembang di seluruh
Eropa.
Pandangan
baru ini menghasilkan perubahan dalam menilai keutamaan-keutamaan
kedermawanan umpamanya tidak mempunyai lagi nilai yang tinggi
sebagaimana pada abad-abad pertengahan, dan keadilan social menjadi di
perolehnya pada masa yang lampau.
· Perkembangan Akhlak Dalam Berbagai Ajaran Agama
a. Akhlak dalam ajaran agama Hindu
b. Akhlak dalam ajaran Ibrani
c. Akhlak dalam ajaran Kong Fu Tse (Konfucius)
d. Akhlak dalam ajaran agama Nasrani (Masehi)
e. Akhlak dalam ajaran agama Islam
DAFTAR PUSTAKA
Ardani, Moh. Akhlak Tasawuf (Nilai-nilai akhlak/ budipekerti dalam ibadat dan tasawuf), Jakarta: PT Karya Mulia, 2005.
AR, Zahruddin dkk. Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004.
Muthahhari, Murtadha. Falsafah Akhlak. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.